Halaman

My Story


Serpihan Pelangi

Sabtu, 5 Mei 2012
            Akhirnya hari ini datang.
Hari yang paling dinanti dan menjadi impian untuk setiap kaum wanita sepertiku. Gaun panjang yang indah, ruangan penuh bunga mawar putih, senyum hangat, ucapan selamat, dan...  seseorang yang akan mendampingiku di sisa-sisa hidupku.
Ini akan menjadi salah satu hari yang bersejarah dalam hidupku...
Seperti hari yang sama, saat lima tahun lalu... Dimana mata ini bertemu untuk yang pertama kalinya dengan mata yang hanya menyimpan kegelapan.
***
Sabtu, 5 Mei 2007
Langit masih sangat cerah ketika Valerie sampai di taman kota mengantarkan Chika, keponakannya yang baru datang dari luar kota beberapa jam yang lalu.
Chika melompat-lompat kegirangan begitu melihat taman kota yang sejuk penuh dengan bunga warna-warni, anak-anak seusianya, dan wahana permainan di pusat taman. Pak Tanto, si sopir kewalahan mengikuti tingkah lincah Chika yang serba ingin tahu. Sementara Valerie memilih untuk duduk di bangku taman sambil mengeja buku Brailenya.
“Kak, ayo lah main sama Chika...” rengek Chika yang mulai merasa bosan hanya ditemani oleh pak Tanto. Karena susah berkonsentrasi akibat rengekan Chika, Valerie terpaksa menutup bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. Sambil melamun setengah mengantuk Valerie kemudian menggandeng tangan mungil Chika.
 “Kak, ada burung dara!” Seru Chika keras tiba-tiba. Valerie terkejut karena anak itu juga melepaskan pegangannya dan berlari meninggalkannya. Ia refleks mengejar Chika dengan mengikuti derap langkah Chika yang terdengar oleh telinganya.
“BRAAKKK!” Valerie terjatuh ke tanah karena tubuhnya tertabrak oleh sesuatu yang datang secara mendadak dari arah kirinya. Ia merintih kesakitan memegangi siku tangan kanannya yang menjadi tumpuan. Namun di sisi lain ia bersyukur karena masih bisa tersadar sepenuhnya.
“Kamu nggak apa-apa kan?” Seru suara seorang cowok mengagetkannya.
“Iya, nggak apa-apa...” Valerie berusaha menatap ke arah dari mana suara itu berasal. Cowok itu membantunya berdiri dan mendudukkannya di sebuah bangku. Chika dan Pak Tanto pun berlari menyusul ke arah mereka.
“Maaf, tadi aku kehilangan kontrol karena kamu tiba-tiba muncul di depan sepedaku.” Ucap cowok itu dengan nada cemas.
“Ah nggak apa, aku juga salah kok. Terimakasih sudah ditolongin.” Balas Valerie seraya tersenyum. Namun cowok itu nampak masih tetap merasa bersalah karena menabrak Valerie. Dan karena memaksa, akhirnya dia pun ikut mengantarkan Valerie sampai ke rumah sementara sepeda mininya dimasukkan ke dalam bagasi mobil.
“Oh ya, nama kamu siapa?” tanya cowok itu tanpa mengulurkan tangan, karena baru beberapa saat tadi ia tersadar kalau cewek di hadapannya cacat penglihatan.
“Valerie, kamu?”
“Aku Athar. Rumah kamu di perumahan Lestari juga?” tanya cowok bernama Athar itu sedikit terkejut ketika mobil yang dinaikinya memasuki kawasan perumahan yang disebutkannya.
“Iya. Di blok Mentari tepatnya.”
“Wah, itu blokku juga lho. Aku baru pindah seminggu yang lalu. Ternyata kita tetangga.” Athar tertawa kecil. Valerie juga tak menyangka ternyata Athar adalah keluarga yang baru pindahan tepat di sebelah kiri rumahnya. Hanya berjarak satu rumah dari rumahnya. Mamanya memang sempat bercerita kalau ada anak seusianya di keluarga yang baru pindahan itu, tetapi ia tak begitu peduli karena harus belajar untuk persiapan UTS di kampusnya selama seminggu ini.
Tiba-tiba Athar mengeluarkan sapu tangan dari sakunya kemudian membalut luka di siku Valerie. Entah karena tabrakan tadi atau apakah itu, Valerie baru menyadari kalau jantungnya berdesir kencang.
***
Minggu, 19 Agustus 2007
            Setiap hari kita bertemu, berbagi putih dan hitam. Berbagi warna karena kita menciptakan sebuah pelangi dengan harmoni warna yang selaras.  
Semua menjadi mungkin ketika bersamamu. Kamu membuatku melihat tanpa mata. Dan kegelapan, kini telah memudar. Itulah yang paling aku kagumi darimu. Kamu berhasil membagi apa yang selama ini tak pernah kulihat melalui duniamu.
            Namun ternyata ada satu yang tak bisa aku bagi denganmu...
            Ketika kamu jatuh hati.
***
Minggu, 19 Agustus 2007
“Oh jadi kamu yang namanya Valerie? Salam kenal, aku Farah.” Tanpa mengulurkan tangan, cewek bernama Farah itu memperkenalkan diri di hadapan Valerie. Valerie yang sebelum-sebelumnya sudah pernah mendengar nama itu dari mulut Athar, berusaha keras mengeluarkan senyuman dan menampikkan rasa kecewa.
            “Iya, Athar sering banget cerita tentang kamu Far.” Valerie berusaha mencairkan suasana kini. Athar hanya mendelik dengan muka bersemu merah. Ia kemudian tersadar kalau Valerie tak akan melihat ekspresinya itu. Namun Athar salah, Valerie bisa mendeskripsikan bagaimana wajah Athar saat itu, meski ia tak pernah tahu bagaimana persisnya wajah Athar.
            Setelah itu mereka pun sibuk menonton lomba acara tujuh belasan yang digelar di perumahan. Athar dan Farah rupanya turut memeriahkan dengan mengikuti lomba gigit sendok.
            Begitu lomba gigit sendok dimulai suasana menjadi sangat riuh, karena perlombaan ini sama sekali tidak seperti lomba gigit sendok pada umumnya. Athar harus menggendong Farah di punggungnya sambil berjalan cepat namun dengan hati-hati, agar kelereng di atas sendok yang digigit oleh Farah tidak terjatuh. Sementara Valerie hanya bisa berdiri di tepi garis area lomba sambil berteriak-teriak memberi support ke mereka.
            Sesekali ia membayangkan bagaimana raut ekspresi Athar ataupun Farah ketika Athar meneriaki agar Farah tenang.  Tetapi Valerie mencoba mengabaikan semua itu, ia terus memberikan dukungan kepada keduanya hingga akhir perlombaan meski hasilnya mereka kalah dalam perlombaan itu.
            “Nih, minum. Kalian pasti haus deh.” Valerie menyodorkan dua kaleng minuman isotonik kepada keduanya begitu perlombaan usai. Athar dan Farah menerimanya sambil kompakan mengucapkan terima kasih.
            “Sayang, aku pusing banget nih...” ucap Farah manja.
            “Kamu tadi nggak mau sarapan sih...” Athar menyentuh dahi Farah untuk mengecek suhu tubuhnya.
            “Iya deh habis ini aku makan, tapi suapin yah?” Athar hanya tertawa kecil mendengar permintaan Farah itu, ia melihat sesaat ke arah Valerie yang nampak sibuk menikmati snack kemudian ia mengangguk kecil. Farah pun berseru kegirangan seperti anak kecil. Meski terlihat sibuk, Valerie bisa membayangkan tiap detail apa yang Athar dan Farah lakukan saat itu.
***
Minggu, 16 Agustus 2009
            Athar dan Valerie sibuk menyusun strategi, sebelum perlombaan yang mereka ikuti dimulai. Sebentar-sebentar Athar membasahi kerongkongannya yang kering dengan air dingin. Sementara Valerie mengibas-ngibaskan tangannya ke udara mencari angin di hari yang memang sangat terik itu.
            Pukul sebelas kurang, akhirnya para peserta lomba gigit sendok sambil digendong pun dimulai. Semua peserta sudah siap di garis start. Athar berkali-kali meminta Valerie agar berpegangan kuat dan berkonsentrasi. Ia agak trauma karena pernah membuat cewek itu terjatuh saat pertama kali bertemu, dan tidak ingin mengulangi hal yang sama untuk kedua kalinya.
            Begitu panitia lomba meneriakkan ‘MULAI’, Athar melangkah dengan mantap sementara Valerie mempertahankan kelereng diatas sendok dengan perasaan campur aduk. Sangat sulit bagi Valerie untuk bisa mempertahankan kelereng tetap di atas sendok, karena ia tak bisa melihatnya langsung dan hanya bisa mengandalkan feelingnya.
            “Val, kamu inget saat kita ketemu badut di taman, lalu aku ikut mencoba melempar-lempar bola?”
            “He’em...” Jawab Valerie tanpa membuka mulutnya.
            “Udah dengan pede tingkat dewa aku ngelemparnya, eh malah nimpuk jidatku sendiri bolanya.” Lanjut Athar bersemangat. Valerie yang tadinya merasa gugup nggak karuan kini menjadi lebih tenang karena membayangkan masa-masa yang dibicarakan Athar.
            “Lalu kamu inget saat kita mendayung perahu di water park?” Athar pun menceritakan hal yang lainnya terus dan terus sampai mereka tiba di garis finish. Begitu mereka menginjak garis finish, mereka baru tersadar kalau mereka adalah orang pertama yang berada disana.
            “Val, kita juara pertama!” seru Athar sambil mengguncangkan pundak Valerie.
            “Beneran Thar? Hore.....!” Teriak Valerie kegirangan.
            Ketika mereka menerima hadiah di hadapan orang banyak, panitia menyebut mereka sebagai pasangan yang serasi. Valerie menjadi salah tingkah bukan main, meski Athar sempat mengklarifikasi kalau mereka hanya bersahabat.
            Valerie ingat, di tempat yang sama, dalam perlombaan yang sama, pada 2 tahun yang lalu, Athar masih berpacaran dengan Farah dan mengikuti perlombaan ini namun gagal menjadi juara. Dan sekarang ia hanya berdua dengan Athar dan ternyata mereka bisa meraih juara. Mungkin mereka bukan ‘pasangan’ yang serasi, tetapi kata ‘sahabat’ yang serasi sudah sangat cukup membuat perasaan Valerie senang sekarang.
***
Rabu, 6 Januari 2010
            Setelah membuka hati ini untuk yang pertama kalinya, ternyata kamu juga membuka mataku untuk yang pertama kalinya...
Aku tak bisa mengatakan banyak hal kini, tetapi aku akan selalu menyampaikannya pada Tuhan.
Bahwa hal terindah dalam hidupku yang pernah kulihat, hanyalah melihatmu bahagia... Meski itu dalam penglihatan yang cacat.
***
Sabtu, 5 Mei 2012
            “Kamu ngapain pagi-pagi buta kesini sayang?”
            Valerie menghapus sisa-sisa air matanya dan memasukkan segera buku hariannya ke dalam tas. Yang datang menghampirinya adalah Bima, calon suaminya.
“Nggak apa sayang, cuma ingin menghirup udara pagi hari aja...” ujar Valerie sambil tersenyum.
Sejenak tercipta keheningan di antara keduanya. Bima tahu kalau di taman kota ini tempat Valerie mengenang Athar sahabatnya. Tapi ia lebih memilih untuk pura-pura tidak mengetahuinya. Sementara Valerie sibuk meyapukan pandangannya ke seisi taman kota yang masih gelap dan sepi.
            “Aku bahagia, karena mulai hari ini aku akan terus mendampingimu. Kamu juga kan?” Bima menyelimuti pundak Valerie dengan jaket yang dipakainya seraya duduk menyebelahi.
              “Iya, aku juga bahagia kok...” Ucap Valerie tulus, sambil menatap ke arah semburat langit pucat yang mulai dihiasi warna jingga.  Di antara awan tipis yang berselingan menutupi semburat mega itu, samar-samar Valerie melihat wajah cinta pertamanya yang tersenyum.
***
Selasa, 5 januari 2010
            Kaki langit masih memancarkan sisa-sisa mega dari sang mentari yang masih enggan bersembunyi. Sesekali terdengar bunyi kepakan sayap burung dara yang bergesekan dengan udara.
            Kini Valerie dan Athar duduk di bangku taman kota sambil memandang ke arah jejak langkah menghilangnya sang mentari. Valerie sibuk memendam rapat kecemasan-kecemasan yang tanpa jeda menghantuinya. Namun Athar bisa melihat semuanya dari mata gadis itu. Ia meraih tangan kanan Valerie dan menggenggamnya lembut.
            “Makasih, kamu sudah pernah memberi sepotong sayapmu padaku...” ujar Athar dengan senyuman pada wajahnya yang memucat. Ia terdiam sesaat dan memandang ke burung dara yang terbang di hadapan mereka.
            “Ketika aku menemukanmu, aku sudah tahu kalau aku akan menemukan sesuatu yang selama ini aku cari. Sahabat sekaligus cinta sejati...” Sesaat waktu seperti terhenti saat Valerie mendengar untaian kata itu keluar dari mulut Athar. Kata-kata yang selama ini hanya bisa dipendamnya hidup-hidup.
“Tapi maaf, kalau aku sering menyakiti kamu Val...” lanjut Athar sambil menyeka air mata yang berjatuhan di pipi Valerie.
“Aku selalu mencari sesuatu yang lain, agar aku bisa melupakan rasa ini  sejenak. Aku tak bisa menyamakanmu dengan mereka, karena bersamamu adalah hal yang paling indah. Meski aku tak pernah mengutarakannya...”
“Setelah aku pergi, aku harap kamu bahagia, karena aku akan menunjukkanmu dunia yang sebenarnya. Hal yang kamu impikan selama ini...” Ucap Athar panjang lebar dengan suara yang lemah. Valerie kini menangis sesenggukan, menyadari kalau ternyata selama ini cinta pertamanya telah terbalas. Bahkan sejak awal, sejak dia menemukannya. Namun mengapa harus ada detik-detik ini? Detik-detik ketika rasa takut kehilangan itu memuncak.
Selama ini Athar mengidap penyakit iskemik jantung. Dan ia rapat-rapat menyembunyikan ini dari Valerie. Hingga satu bulanan yang lalu, saat penyakit itu mulai mengkronis, Bundanya Athar menceritakan semuanya kepadanya. Dan juga tentang permohonan terakhir Athar untuk mendonorkan matanya yang memiliki kecocokan kornea dengan mata Valerie saat dia telah tiada nantinya.
“Aku boleh minta sesuatu?” tanya Athar membuyarkan pikiran-pikiran yang bergejolak di kepala Valerie. Valerie hanya mengangguk menahan tangis. Ia tak tahu harus berkata apa detik ini. Lidahnya kelu, dan bibirnya pun susah digerakkan. Ia hanya ingin terus menemani dan mendengar setiap tutur kata orang yang dicintainya.
“Aku ingin tidur di pundakmu...” ucap Athar sambil tersenyum lembut. Tanpa banyak bicara, Valerie segera menggeser duduknya hingga mendekati Athar.
“Terima kasih banyak atas semuanya Val... Semoga kamu bisa bahagia dengan sahabatku, Bima.”
            Athar pun memejamkan matanya, lama, matahari pun menghilang berganti langit dengan wajah rembulan yang masih memucat. Valerie menangis tanpa suara melepas kepergian orang yang sangat disayanginya.
            Bintang mulai berkelip menghiasi angkasa, angin sore yang tadinya hangat, perlahan menusuk tulang. Valerie memejamkan matanya sejenak, dan ia melihat serpihan pelangi yang ia buat selama ini bersama cinta pertamanya. Serpihan pelangi itu ternyata jalan untuk mereka bertemu di kehidupan yang lain.












BIODATA PENULIS

            Nama saya Qory Febrina Arsy, anak tengah dari lima bersaudara. Saya lahir pada tanggal 6 Februari 1993 di kampung halaman saya, yakni di kota Jombang. Perjalanan meniti ilmu saya kini sampai di bangku perkuliahan sebuah PTN di Jember bernama UNEJ, dengan mengambil jurusan pendidikan. Saya mencicipi dunia tulis menulis semenjak pertama kali saya mengenal sebuah media massa yang bernama ‘majalah’. Ketika itu saya masih duduk di bangku kelas 1 SD. Begitu Valerienya menekuni cerpen dan cergam, akhirnya saya pun iseng membuat majalah dari buku gambar dan meminjamkannya pada teman satu kelas. Saya tak menyangka mereka menyukai majalah handmade saya. Saya pun sedikit demi sedikit mulai menulis beragam fiktif lain seperti komik, dongeng dan kemudian novel lalu mempubli-kasikannya kepada orang-orang terdekat saya. Beberapa judul karya saya adalah Buku Harian Mama, Si Kembar dan Si Valerie, Cinderella Boy, dan Panggil Dia Irwan Bachdim yang sempat dimuat di harian Jawa Pos Surabaya. Misi saya menulis, hanya ingin berbagi cipta dan rasa pada pembaca, karena rasa dari mereka sendiri merupakan ‘daya menulis’ untuk saya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar